Oleh:
Yoga A.
Setiap peradaban di seluruh dunia
memiliki ciri khasnya sendiri untuk menyatakan identitasnya sebagai sebuah
kumpulan manusia yang diikat oleh sebuah sistem sosial merdeka. Termasuk dalam
hal penanggalan. Bagi umat dan peradaban muslim khususnya, sistem kalender
menggunakan penanggalan hijriyah, yang didasari pada peredaran bulan
mengelilingi bumi (revolusi bulan). Dan di antara dua belas bulan yang
disepakati, kita selalu mengingati Rajab sebagai salah satu bulan istimewa.
Pada
tanggal 27 Rajab empat belas abad yang lalu, junjungan kita Rasulullah Muhammad
SAW. telah melakukan sebuah perjalan suprarasional dengan melintasi Masjidil
Haram di Makkah menuju Masjid Al-Aqsa di Palestina, naik ke langit ke tujuh dan
turun lagi dengan perintah kewajiban shalat.
Allah
telah menorehkannya abadi dalam surah Al-Isra’ ayat 1:
“Maha suci (Allah) yang telah memperjalankan
hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa …[Q.S.Al-Isra:1]”
Sungguh
telah sekian kali diulas mengenai sejarah ceritera isra’ mi’raj oleh para muballigh-mubaligh, ustadz-ustadz, dalam
berbagai bingkai acara dan tulisan. Oleh karenanya penulis telah memakai
kacamata yang berbeda untuk melihat peristiwa ini sebagai sebuah tapak tilas
dari reka peristiwa umat Islam sendiri.
Dari Makkah ke Palestina
Dalam
tafsir Ibnu Katsir dikatakan, bahwa pada malam isra’ mi’raj itu Nabi Muhammad mengimami para Nabi terdahulu untuk
sholat di Baitul Maqdis—tempat yang kini dipercaya orang-orang Yahudi sebagai
bekas Haikal Nabi Sulaiman serta tempat tegaknya masjid Al-Aqsa di Palestina.
Kenapa Baitul Maqdis? Ibnu Katsir menjawab ini dalam tafsirnya dengan kalimat ‘sebab di sanalah semua Nabi berasal sejak
dari Nabi Ibrahim alaihissalam hingga Nabi Isa alaihissalam.”
Palestina
menjadi sepotong alur yang tak terpisahkan dari sejarah keislaman. Namanya
disebut abadi dalam Al-Qur’an sebab keutamaannya. Ia adalah tanah para Nabi,
negeri yang diberkahi. Bahkan kiblat pertama umat Islam mengarah ke Baitul
Maqdis sebelum Allah menurunkan wahyu untuk memalingkan kiblat ke Arah Ka’bah
di Makkah.
Oleh
karenanya, Rasulullah telah memimpikan kota ini sedari Beliau memimpi negeri
Madinah, bercita-cita merengkuhnya dalam kekuasaan Islam. Ia bahkan dimuliakan
sebagai tempat tersuci ketiga setelah Makkah dan Madinah.
Dalam
sebuah hadist dari Abu Dzar
Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami
saling bertukar pikiran tentang, manakah yang lebih utama, masjid Rasulullah
SAW. atau Baitul Maqdis, sedangkan di sisi kami ada Rasulullah SAW. Lalu Beliau
bersabda, “Satu shalat di masjidku lebih utama dari empat shalat padanya, dan
ia adalah tempat shalat yang baik … [H.R.
Thabrani]
Kota Yang diperebutkan dan dibebaskan
Nyatanya,
dalam peta sejarah peradaban, Palestina telah mengambil posisinya dengan
strategis sebagai kota suci yang diperebutkan oleh peradaban-peradaban besar
dunia. Hal ini terbukti ketika tahun 622 M, bertepatan ketika Rasulullah
berhijrah ke Madinah, Kekaisaran Persia tengah mengumumkan genderang perang
dengan Kekaisaran Romawi. Tujuannya—merebut Palestina dari tangan kaum kristen
Romawi. Tujuh tahun kemudian, peperangan atas nama yang sama dikobarkan
kekaisaran Romawi melawan kekaisaran Persia. Dan Allah telah mengabadikan momen
ini dalam Al-Qur’an surah Ar-rum ayat-ayat awal.
“Akan dikalahkan bangsa Romawi, di negeri
terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun
lagi. [Q.S. Ar-Rum:1-4]
Saat
Islam telah mengokohkan dirinya, telah memantapkan derap pasukannya, telah
percaya diri dengan janji Allah dan semangat syahid fi sabilillah serta janji
syurga dari Allah yang Maha mulia, para pemimpinnya telah melirik mata untuk
membebaskan Palestina ke dalam wilayah Islam. Para penguasa Romawi telah
memperhitungkan kekuatan kaum muslimin di peta perpolitkan mereka. Usaha-usaha
pembuka telah dimulai dari masa Rasulullah dengan dilancarkannya Perang Tabuk.
Dan, barulah, ketika Khalifah Umar bin Khattab berkuasa, Amirul Mukminin itu
mengutus Abu Ubaidah sebagai panglima perang pembebas negeri Syam. Negeri Syam
terdiri dari Syria, Palestina, Yordania, Lebanon hari ini. Menaklukkan Syam
sama artinya dengan menaklukkan Palestina.
Ketika
pada akhirnya Baitul Maqdis jatuh ke tangan umat Islam, Khalifah sendirilah
yang menerima kunci kota itu dari Uskup Baitul Maqdis. Sejak itu, Palestina
berada di bawah panji-panji Islam.
Tapi,
kita mengingat bahwa setelah pembebasan itu, terjadi serangkaian perang
berdarah-darah dalam tapak tilas manusia. Palestina masih saja menjadi menu
favorit para monarki sekitarannya untuk ditaklukkan. Dan peristiwa paling
mengerikan terjadi dalam perang atas nama agama yang lebih populer dengan
sebutan Perang Salib (1095-1291), dimana kota suci itu ditenggelamkan dalam darah
dan penghancuran besar-besaran pasukan kristen. Baitul Maqdis berdiri sebagai
kerajaan kristen. Barulah, ketika panglima Salahuddin datang, pasukan Kurdi-nya
berhasil mengusir pasukan kristen itu kembali ke perairan mereka.
Palestina: Sebuah konspirasi atas tanah
yang dijanji
Theodore
Herzl, seorang tokoh Yahudi dari Austria, dalam bukunya, Zionist, telah
menuliskan bahwa umat Yahudi di seluruh dunia memerlukan tanah air mereka—yang
mereka yakini sebagai Palestina—untuk membangun sebuah negeri yang aman bagi
Yahudi. Sebuah negeri Israel Raya akan terbentang dari Mesir menuju Iraq,
melewati sungai Eufrat dan Nil. Sebuah penggambaran yang mereka tekuni berasal
dari kejayaan masa lalu Nabi Daud.
Dan
oleh karenanyalah, sebab terpanggil oleh semangat nasionalisme, bangsa Yahudi
telah bersusah lelah untuk mengambil alih ‘tanah yang dijanjikan’ ini menjadi
milik mereka. Padahal, mereka telah terusir jauh hari, ketika mereka
mendurhakai Allah dan berpaling dari peringatan Nabi-Nabi-Nya.
Allah
SWT. menceritakan kepada kita bagaimana mereka membangkang kepada Nabi Musa
dengan ucapan sok dan tak sopan.
“Mereka berkata: “Hai Musa, kami
sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di
dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” [Q.S. Al-Maidah: 24]
Namun,
pada saat itu, Palestina masih berada di bawah kekuasaan kekhalifahan
Utsmaniyah. Khalifah waktu itu, Abdul Hamid II, menolak tawaran Theodore Herzl,
yang telah datang berkali-kali dan menawarkan sejumlah kompensasi dan harga
atas tanah jika mereka diizinkan mengambil ‘sepotong’ Palestina dari
kekhalifahan. Kendati kaum muslimin tengah berada di masa sakitnya, Khalifah
Abdul Hamid menolak. Dan dalam memoarnya dia menuliskan,
“Aku tak dapat menyerahkan tanah Palestina
ini pada kalian. Sebab ia bukanlah milikku, tapi milik umat ini. Mereka yang
telah berperang di jalan Allah, menyuburkan tanahnya dan menyiraminya dengan
darah. Orang-orang Yahudi bisa menyimpan uang mereka. Jika suatu saat khilafah
telah tiada, kalian dapat mengambil Palestina tanpa bayaran. Tapi selama
napasku masih naik turun, akan lebih baik bagiku menekan sebilah pedang di
dadaku daripada melihat Palestina terkoyak dan terpisah dari khilafah. Ini
sesuatu yang takkan mungkin! Aku takkan mulai memotong diriku sendiri saat kami
masih lagi hidup.”
Hal
itu benar-benar dilakukan Herzl. Lewat bantuan Inggris dalam deklarasi Balfour
tahun 1948, setelah meruntuhkan khilafah, terbentuklah sebuah negeri Israel di
atas tanah Palestina atas restu PBB. Tanah Syam dikoyak menjadi empat negara
kecil. Sejak itu, An-nakbah, peristiwa pengusiran kaum muslimin dari tanah
airnya sendiri mulai gencar dilakukan bangsa pendatang Israel.
Palestina: Tanah Berkah yang terjajah,
ibukota masa depan Khilafah
Maka
hingga kini, Palestina masih belum dapat melepaskan diri dari rengkuhan
penjajahnya. Masih menangis tak berperi, masih melolong sendiri, masih mencoba
bertahan kendati telah berdarah-darah. Anak-anaknya gugur sebagai syuhada dari
satu hari ke hari yang lain. Para pemudanya telah bersudi hati mempersembahkan
nyawa mereka sedari lahir. Gerakan intfadhah telah membuat harga nyawa jauh
lebih murah daripada dunia serta isinya.
Mari
sejenak mentafakkuri diri, menimbang rasa hati, bersudi menekurkan kepala di
atas daging ayat-ayat suci, bahwa tanah berkah itu, yang dijajah dengan
cara-cara bukan manusia hingga hari ini, adalah tanah dimana Nabi Muhammad
memulai perjalanan suprarasionalnya untuk membawa perintah paling penting dalam
Islam—sholat. Adalah tanah dimana Beliau mengimami para Nabi lainnya. Adalah
tempat dimana jejak kakinya masih tercetak sempurna. Adalah kiblat pertama umat
muslim sebelum Makkah. Palestina adalah bagian dari sejarah keumatan. Palestina
adalah bagian dari tubuh kita.
Maka
membiarkannya terjajah sama saja dengan membiarkan tubuh kita dicederai.
Ingatlah bahwa Al-Maqdis adalah ibukota kekhalifahan masa depan.
Rasulullah
bersabda, “Wahai Ibnu Hawalah, jika engkau
telah melihat khilafah telah turun di Baitul Maqdis maka telah dekat terjadinya
gempa, musibah, dan perkara yang besar (kiamat). [H.R. Abu Daud]
Untuk
itu, dalam peringatan isra’ mi’raj ini,
sudikanlah diri mengingat nasib Palestina, memanjatkan tangan ke langit dan
berdoa. Moga-moga jalan pembebasan itu kian dekat.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar