Selasa, 01 Mei 2018

Keindahan Dibalik Menahan Amarah


KEINDAHAN DIBALIK MENAHAN AMARAH
Orang yang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah. (HR. Bukhari-Muslim)


Dalam kehidupan ini, kita tidak akan pernah lepas dari sebuah “masalah”, seperti tertimpa musibah, kehilangan sesuatu, penderitaan, dan kesengsaraan yang tidak hanya mengundang diri untuk bersedih, melainkan amarah yang seakan membludak dan menguasai diri.

Dalam menghadapi masalah hidup tersebut tingkat keteguhan seseorang memang berbeda-beda. Ada yang mampu menghadapi persoalan yang sedemikian sulit dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang yang menghadapi persoalan kecil saja ditanggapinya dengan begitu berat. Semuanya bergantung pada kekuatan keimanan seseorang.
Hal itu disebabkan karena tabiat manusia yang beragam. Seperti, keras dan tenang, cepat dan lambat, bersih dan kotor, yang berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya saat berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan iman akan menelusuri lorong-lorong hati orang lain dengan respon pemaaf, tenang, dan lapang dada.Harus kita sadari bahwa realitas hidup yang kita jalani adalah pergulatan menghadapi kesulitan. Tak seorang pun yang bisa lepas darinya, karena ia telah menjadi milik kita semua. Kesulitan dan permasalahan merupakan sunnatullah, yaitu suatu hukum yang telah ditetapkan Allah. Rela atau terpaksa, mau atau tidak, kita pasti akan menghadapi kesulitan tersebut, dengan berbagai tingkatan dan bobotnya yang berbeda.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seseorang berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat.” Beliau bersabda: “Jangan marah.” Lalu orang itu mengulangi beberapa kali, dan beliau bersabda: “Jangan marah.” (HR. Bukhari)
Seringkali  kita marah-marah, padahal Rasulullah sangat melarang hal demikian. Adakalanya kita berdalih dengan alasan kita melakukannya karena agama. Padahal Allah mengutamakan kebaikan akhlak, bukan kekerasan.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Q.S. Ali Imran : 159)Dalam satu riwayat, seorang Badwi datang untuk bertemu dengan Rasulullah. Dengan maksud ingin meminta sesuatu pada beliau. Beliau memberinya, lalu bersabda, "Aku berbuat baik padamu." Badwi itu berkata, "Pemberianmu tidak bagus." Para sahabat merasa tersinggung, lalu mengerumuninya dengan kemarahan. Namun, Rasulullah memberi isyarat agar mereka bersabar.
Kemudian, Rasulullah pulang ke rumah. Rasulullah pun kembali dengan membawa barang tambahan untuk diberikan ke Badwi. Rasulullah bersabda pada Badwi itu, "Aku berbuat baik padamu?" Badwi itu berkata, "Ya, semoga Allah membalas kebaikan Tuan, keluarga dan kerabat."
Keesokan harinya, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, "Nah, kalau pada waktu Badwi itu berkata yang sekasar engkau dengar, kemudian engkau tidak bersabar lalu membunuhnya. Maka, ia pasti masuk neraka. Namun, karena saya bina dengan baik, maka ia selamat."
Beberapa hari setelah itu, si Badwi mau diperintah untuk melaksanakan tugas penting yang berat sekalipun. Dia juga turut dalam medan jihad dan melaksanakan tugasnya dengan taat dan ridha.
Rasulullah saw. memberikan contoh kepada kita tentang berlapang dada. Ia tidak panik menghadapi kekasaran seorang Badwi yang memang demikianlah karakternya. Kalau pun saat itu, dilakukan hukuman terhadap si Badwi, tentu hal itu bukan kezhaliman. Namun, Rasulullah saw. tidak berbuat demikian.
Beliau tetap sabar menghadapinya dan memberikan sikap yang ramah dan lemah lembut. Pada saat itulah, Rasulullah ingin menunjukkan pada kita bahwa kesabaran dan lapang dada lebih tinggi nilainya daripada harta benda apa pun.
Adakalanya, Rasulullah saw. juga marah. Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun ia lakukan bukan karena masalah pribadi melainkan karena kehormatan agama Allah. Rasulullah saw. bersabda, "Memaki-maki orang muslim adalah fasik (dosa), dan memeranginya adalah kufur (keluar dari Islam)." (HR.Bukhari)
"Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor." (HR. Turmudzi)
Dari hadits di atas jelaslah seseorang yang pemarah bukanlah orang Islam dan juga bukan orang yang beriman karena orang-orang takut mendekat dan kena marah olehnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan : “Marah itu bagai binatang buas, bila engkau membebaskannya, ia akan menerkammu.”
3
Mengapa demikian? Karena marah dapat menjauhkan peran akal dan agama dalam kehidupan manusia, sehingga ia pun tidak bisa memandang, berpikir, dan memilih dengan baik. Bahkan marah dapat menjadikan pelakunya buta dan bisu dari segala nasihat dan peringatan yang disampaikan kepadanya. Kemudian, lahirlah perbuatan-perbuatan yang tidak terkontrol dan akan bertindak seperti orang yang tidak waras.
Seorang yang mampu mengendalikan nafsu ketika marahnya berontak, dan mampu menahan diri dikala mendapat ejekan, maka orang seperti inilah yang diharapkan menghasilkan kebaikan dan kebajikan bagi dirinya maupun masyarakatnya.
Bagi orang yang imannya telah tumbuh dengan subur dalam dadanya. Maka, tumbuh pula sifat-sifat jiwa besarnya. Subur pula rasa kesadarannya dan kemurahan hatinya. Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi sesuatu masalah. Tidak mudah memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi haknya.
Orang yang demikian, akan mampu menguasai dirinya, menahan amarahnya, mengekang lidahnya dari pembicaraan yang tidak patut. Wajib baginya, melatih diri dengan cara membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati. Seperti, ujub dan takabur, riya, sum'ah, dusta, pengadu domba dan 
lain sebagainya. Serta, menyertainya dengan amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan derajat yang tinggi di sisi Allah swt.
Seperti yang tertuang dalam Alquran Surah Ali Imran ayat 134 : “...dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Oleh sebab itu, ketika marah menguasai diri kita harus bisa menahannya. Kita harus sabar terhadap apa yang menimpa diri kita. Seperti yang diberitakan oleh Bukhari bahwa orang yang sabar akan diberi kesabaran oleh Allah. Tersenyumlah untuk mengganti ekspresi amarah yang senantiasa menggebu. Karena sesungguhnya, tersenyum itu bisa membantu menghilangkan kepedihan dan kesedihan.
Selain itu, untuk meredam amarah kita bisa senantiasa beristighfar dan memohon perlindungan Allah daripada bisikan syeitan. Bersabarlah. Tahan kemarahan kita. Jika marah masih menguasai diri, maka segeralah untuk berwudhu.

Buletin Edisi : 03

Tidak ada komentar:

MAKNA SYUKUR DAN SABAR

  Oleh : Jihan Nabila Luqiana   Apa yang terlintas di benak kita tentang makna syukur? Apakah dikatakan bersyukur jika sesuatu yang dikabu...