Anak
panah yang lusuh sebatang kara, bila berada di antara dua tangan yang mahir,
pada kaki yang gagah berdiri, pada luapan debar emosi, dan pada khusyuk yang
teramunisi. Maka tumbanglah musuh di depan mata tertembus olehnya. Sejauh
apapun, tidak menjadi mustahil semua itu akan terjadi. Melesat menghujan tanpa
ampun. Tragis memang, tapi begitulah luar biasanya kemampuan yang di padukan
pada waktu yang tepat. Menjadi dahsyat.
Sebenarnya, perumpamaan di atas adalah salah satu ulasan
kecil bila kita telaah tentang dahsyatnya Prasangka dalam diri manusia.
Siapapun, baik dari kaum adam maupun hawa pastilah memiliki sebentuk dari
prasangka dalam dirinya. Meski baik ataupun buruk wujudnya. Dahsyat sekali.
Bagai anak panah ia bisa menembus ruang dalam bentuk apa saja. Tak peduli
keadaan. Tak peduli situasi. Tak peduli apapun konsekuensinya. Itulah prasangka
yang kehilangan Ruh dan Iman di dalamnya. Membuta perilaku, tuli dari nasihat,
dan kacau dalam bertindak. Berawal dari hal-hal yang rapuh, berakhir pula
dengan lebur yang hancurnya tak menebar manfaat sedikitpun. Tapi menjadi ahsan sekali kalau ia hadir dan di
perlakukan dengan Iman, di bawa dengan iman, dan berakhir dengan Iman pula.
Manusia.
Ia
hidup dalam debar pada degub jantung, pada denyut nadi, darah yang mengalir,
nafas yang menderu, dua langkah yang berirama, atau dalam apa saja yang ada pada
diri kita. Itulah prasangka, sumbernya dari mana saja. Mata, telinga, angin dan
kabar burung, atau kenangan yang meracuni jernihnya hati kita. Lagi-lagi manusia.
Dalam hidup, kita di hadapkan dengan berbagai macam
peristiwa. Susah-senang, tangis-tawa, baik-buruk, gelap-terang. Semua yang
terjadi adalah ketetapan dari skenario yang Allah tulis. Atas kehendak-Nya yang
kuasa atas segala apapun. Maka di dalamnya terdapat marah, kesal, sedih, haru, senyum,
tawa, dan bahagia. Wajarlah, kita memiliki sekeping hati yang merasakan itu
semua. Manis atau tidaknya kehidupan, hatilah yang paling berperan merasakan
itu semua.
Maka menjadi penting dua perkara di atas untuk kita jaga
dalam keadaan sebaik mungkin. Karena dari keduanya pula kita di jamah Ridha
atau Murka. Karena pada keduanya pula ada kebaikan bila di nahkodai oleh
kebenaran dan sabar. Karena pada keduanya terselip kekuatan manusia untuk
meraih syurga dengan sempurna.
Teruntuk kita, kenanglah kisah dari kekuatan prasangka.
Kala Kakak beradik itu
duduk di teras sebuah ruko, berteman percik hujan dan dingin menyembilu. Lalu
lalang mata si adik menjamah kendaraan yang lewat. Satu, dua, tiga, dan
seterusnya. Terbata oleh dingin ia mengungkap andai pada sang kakak.
“Kak, seandainya kita terlahir kaya. Orang berada. Hidup mewah. Tentulah
kala hujan kita tak perlu sukar berteduh seperti ini. Cukup diam dan berhenti
dalam mobil. Menikmati lagu melow dan sebotol minuman. Tanpa bersusah payah
menutupi kepala, atau menepi di rumah-rumah orang.”
Angan yang tinggi.
Diudarakan oleh lisan kecil penuh harapan. Sebuah “andai” yang salah dan
memaksa, tapi wajar. Manusia memang suka hal-hal yang menenangkan hatinya untuk
bisa di penuhi.
“Dik..”
Lembut
tangan lusuh itu mengusap kepala sang adik.
“Berapa
nomer sepatumu?”
“29
kak” mata si adik menatap tajam.
“Kalau
kakak belikan ukuran 35, kamu mau pakai tidak?”
“Gak
muatlah kalau di pakai kak, belum pas. Belum waktunya pakai ukuran yang segitu.
Gak bisa jalan jadinya. Asal jalan lepas. hehehe”
“Nah,
itu dia. Iya, itu yang kamu bilang barusan. Belum pas. Belum waktunya.”
“Maksudnya
kak?” Terheran. Mata tajam si kecil jernih membingung
sendiri.
“Mungkin
belum waktunya kamu punya mobil. Pakai barang mewah. Hidup kaya. Belum pas
masanya. Entar kamu malah susah kemana-mana. Termasuk susah beribadah. Lepas dan
lupa terus sama kewajibannya. Sibuk sama gadget, sama HP, sama jalan-jalannya.
Nah, bisa jadi belum pas waktunya kamu bisa begitu. Iman mu termasuk kakak
juga, mungkin masih terlalu kecil dan gampang rusak oleh hal-hal begitu. Nanti
kita lalai. Gak boleh. Allah gak suka sama orang lalai. Hehe”
“MasyaAllah.
Iya. Maafkan De’ kak”
Pemahaman
yang tulus. Setulus daun mencintai matahari dalam perjalanannya tumbuh
menghijau sendu. Mendidik dan mematangkan proses dengan lembut. Tanpa luka,
tanpa paksa, tanpa menyakiti apapun di dalamnya.
Seperti
itulah kekuatan prasangka pada sekeping hati yang ia huni. Bila baik tempatnya
berpenghuni, maka baiklah keadaannya. Bila buruk, maka buruk pula bentuknya.
Tidakkah
kita peka dan ingat akan sabda sang Nabi :
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ
مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah
bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula
seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa
ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim
no. 1599).
Sebab semua bagian dalam diri kita di tentukan dari kadar
baik dan buruknya keadaan hati yang kita punya. Beberapa dari bentuk
perilaku-perilaku keras dan tak sopan. Bisa jadi adalah indikasi dari keruhnya
hati dan kotornya jiwa. Bisa jadi, itu sebabnya ada orang-orang yang tuli pada
nasihat, buta pada kebenaran, dan rusak dalam laku dan perkataan.
Na’udzubillahi Mindzalik..
Menghadapi orang sulit selalu merupakan masalah. Terutama
jika orang sulit itu adalah diri kita sendiri. Jika kita merasa bahwa semua
orang memiliki masalah dengan kkita, tidakkah kita curiga bahwa diri kit inilah
masalahnya?
Menjadi keharusan pada kekuatan prasangka dan sekeping
hati, kiranya perlu kita hidupkan suasana yang baik, sehat, dan sesuai dengan
aturan yang ada. Mengiramakan mereka dalam dentingan yang merdu akan
perintah-perintah dari-nya. Maka kemudian lahirlah hal-hal yang menjadi
penopang kebaikan pada laku yang taat. Sejernih prasangka dan sucinya hati. Inilah
bulir-bulir keberkahan dalam hidup.
Kita akan selalu terluka sebagai hamba yang di uji
imannya, bersabarlah. Dan siapapun yang menyakiti, maka baik pula bila kita
do’akan hidayah menghampiri. Bukan menyiramnya dengan hujat dan sumpah serapah,
bukan. Do’a itu malah membawa keberkahan. Maka mari mendoakan agar terberkahi
luka-luka yang kita rasakan. Agar tersembuhkan sakit-sakit yang menderai batin
kita. Akan subur dan sejuk prasangka-prasangka yang kita miliki. Cinta.
Dan pada prasangka-prasangka yang berlaku dalam Hati dan
Pikiran kita. Maka menjaganya agar tetap bening dan bersih adalah secercah dari
ikhtiar menjemput keridhoan-Nya. Berhusnudzhon pada Allah, pada saudara, pada
sekitar kita, dan pada apa saja yang ada di sekeliling kita. Prasangka baiklah
yang menumbuhkan bulir-bulir kebaikan.
Betapa banyak yang kehilangan Cinta, sebab kotornya
prasangka. Betapa banyak yang jauh dari kebaikan, sebab keruhnya hati. Betapa
banyak yang jauh dari hidayah, sebab jiwa yang tuli. Dan terakhir, betapa
banyaknya yang jatuh dan terpuruk sebab iman yang mengerdil, keruh dan lalai
dari mengingat-Nya. Cukuplah Naifnya diri ini tidak kita kita tinggikan di atas
Iman-iman yang mengerdil. Cukuplah muhasabah kita perbanyak lagi.
Maka mereka pemilik Prasangka yang baik dan Hati yang
Jernihlah yang akan senantiasa peka dan kuat bertahan atas apapun terpaan
angan-angan, kesulitan, ujian, dan apapun bentuk dari goyangan pada air yang
jernih. Sebab tak semua aib orang mampu kita jaga dengan sempurna, demikianpula
halnya tentang kita yang tak sepenuhnya orang lain paham benar keadaannya. Luka
dan Bahagia adalah rasa, maka hanya para pemilik perasaanlah yang mampu
menelaah betapa pelik ia telah melukai, atau seberapa jelitanya ia menoreh
tawa. Hanya perasa. Persembahan Cinta yang mulia pada sesama.
Antara Sekeping Hati dan Sejuta Prasangka. Maka di antara
keduanya ada kebaikan. Lalu Allah pula bergantung pada prasangka yang kita
punya.
Sebagai hamba mari menjadi pembelajar dari sabda sang
nabi. Bahwa Abu Hurairah RA meriwayatkan sabda Rasulullah SAW tentang kemuliaan
berprasangka baik kepada sang Khalik.
”Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, Aku menurut
prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengingat-Ku. Jika ia mengingatku
dalam kesendirian, Aku akan mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Jika ia
mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih
baik daripada keramaiannya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan
mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan
mendekat kepadanya se depa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan
datang kepadanya dengan berlari.”(HR
Bukhari dan Muslim).
Karena
prasangka baik terdapat hikmah yang menarik. Berbaik sangka mendekatkan kita
pada yang Maha Esa. Sebaliknya, berprasangka buruk membuat kita terpuruk,
jatuh, hina, dan akhirnya rapuh oleh prasangka-prasangka yang kita punya.
Berburuk sangka menyebabkan setan berkuasa di hati kita. Menjelma pada laku
yang tak taat. Pada maksiat yang menetap. Pada amalan-amalan yang
terombang-ambing tiada kepastian. Na’udzubillah mindzalik.
Kita semua berlindung kepada Allah SWT. Dengan
sejernih prasangka, dan setulus nurani pada sekeping hati.
Buletin Edisi 14
Akh Agung Tri Pamungkas
Akh Agung Tri Pamungkas
1 komentar:
MasyaAllah 👏👍
Posting Komentar