Senin, 14 Mei 2018

Sekeping Hati dan Sejuta Prasangka



Anak panah yang lusuh sebatang kara, bila berada di antara dua tangan yang mahir, pada kaki yang gagah berdiri, pada luapan debar emosi, dan pada khusyuk yang teramunisi. Maka tumbanglah musuh di depan mata tertembus olehnya. Sejauh apapun, tidak menjadi mustahil semua itu akan terjadi. Melesat menghujan tanpa ampun. Tragis memang, tapi begitulah luar biasanya kemampuan yang di padukan pada waktu yang tepat. Menjadi dahsyat.

            Sebenarnya, perumpamaan di atas adalah salah satu ulasan kecil bila kita telaah tentang dahsyatnya Prasangka dalam diri manusia. Siapapun, baik dari kaum adam maupun hawa pastilah memiliki sebentuk dari prasangka dalam dirinya. Meski baik ataupun buruk wujudnya. Dahsyat sekali. Bagai anak panah ia bisa menembus ruang dalam bentuk apa saja. Tak peduli keadaan. Tak peduli situasi. Tak peduli apapun konsekuensinya. Itulah prasangka yang kehilangan Ruh dan Iman di dalamnya. Membuta perilaku, tuli dari nasihat, dan kacau dalam bertindak. Berawal dari hal-hal yang rapuh, berakhir pula dengan lebur yang hancurnya tak menebar manfaat sedikitpun. Tapi menjadi ahsan sekali kalau ia hadir dan di perlakukan dengan Iman, di bawa dengan iman, dan berakhir dengan Iman pula. Manusia.
Ia hidup dalam debar pada degub jantung, pada denyut nadi, darah yang mengalir, nafas yang menderu, dua langkah yang berirama, atau dalam apa saja yang ada pada diri kita. Itulah prasangka, sumbernya dari mana saja. Mata, telinga, angin dan kabar burung, atau kenangan yang meracuni jernihnya hati kita. Lagi-lagi manusia.
            Dalam hidup, kita di hadapkan dengan berbagai macam peristiwa. Susah-senang, tangis-tawa, baik-buruk, gelap-terang. Semua yang terjadi adalah ketetapan dari skenario yang Allah tulis. Atas kehendak-Nya yang kuasa atas segala apapun. Maka di dalamnya terdapat marah, kesal, sedih, haru, senyum, tawa, dan bahagia. Wajarlah, kita memiliki sekeping hati yang merasakan itu semua. Manis atau tidaknya kehidupan, hatilah yang paling berperan merasakan itu semua.
            Maka menjadi penting dua perkara di atas untuk kita jaga dalam keadaan sebaik mungkin. Karena dari keduanya pula kita di jamah Ridha atau Murka. Karena pada keduanya pula ada kebaikan bila di nahkodai oleh kebenaran dan sabar. Karena pada keduanya terselip kekuatan manusia untuk meraih syurga dengan sempurna.
            Teruntuk kita, kenanglah kisah dari kekuatan prasangka.
Kala Kakak beradik itu duduk di teras sebuah ruko, berteman percik hujan dan dingin menyembilu. Lalu lalang mata si adik menjamah kendaraan yang lewat. Satu, dua, tiga, dan seterusnya. Terbata oleh dingin ia mengungkap andai pada sang kakak.
Kak, seandainya kita terlahir kaya. Orang berada. Hidup mewah. Tentulah kala hujan kita tak perlu sukar berteduh seperti ini. Cukup diam dan berhenti dalam mobil. Menikmati lagu melow dan sebotol minuman. Tanpa bersusah payah menutupi kepala, atau menepi di rumah-rumah orang.”
Angan yang tinggi. Diudarakan oleh lisan kecil penuh harapan. Sebuah “andai” yang salah dan memaksa, tapi wajar. Manusia memang suka hal-hal yang menenangkan hatinya untuk bisa di penuhi.
“Dik..” Lembut tangan lusuh itu mengusap kepala sang adik.
“Berapa nomer sepatumu?”
“29 kak” mata si adik menatap tajam.
“Kalau kakak belikan ukuran 35, kamu mau pakai tidak?”
“Gak muatlah kalau di pakai kak, belum pas. Belum waktunya pakai ukuran yang segitu. Gak bisa jalan jadinya. Asal jalan lepas. hehehe”
“Nah, itu dia. Iya, itu yang kamu bilang barusan. Belum pas. Belum waktunya.”
“Maksudnya kak?” Terheran. Mata tajam si kecil jernih membingung sendiri.
“Mungkin belum waktunya kamu punya mobil. Pakai barang mewah. Hidup kaya. Belum pas masanya. Entar kamu malah susah kemana-mana. Termasuk susah beribadah. Lepas dan lupa terus sama kewajibannya. Sibuk sama gadget, sama HP, sama jalan-jalannya. Nah, bisa jadi belum pas waktunya kamu bisa begitu. Iman mu termasuk kakak juga, mungkin masih terlalu kecil dan gampang rusak oleh hal-hal begitu. Nanti kita lalai. Gak boleh. Allah gak suka sama orang lalai. Hehe”
“MasyaAllah. Iya. Maafkan De’ kak”
Pemahaman yang tulus. Setulus daun mencintai matahari dalam perjalanannya tumbuh menghijau sendu. Mendidik dan mematangkan proses dengan lembut. Tanpa luka, tanpa paksa, tanpa menyakiti apapun di dalamnya.
Seperti itulah kekuatan prasangka pada sekeping hati yang ia huni. Bila baik tempatnya berpenghuni, maka baiklah keadaannya. Bila buruk, maka buruk pula bentuknya.
Tidakkah kita peka dan ingat akan sabda sang Nabi :
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
            Sebab semua bagian dalam diri kita di tentukan dari kadar baik dan buruknya keadaan hati yang kita punya. Beberapa dari bentuk perilaku-perilaku keras dan tak sopan. Bisa jadi adalah indikasi dari keruhnya hati dan kotornya jiwa. Bisa jadi, itu sebabnya ada orang-orang yang tuli pada nasihat, buta pada kebenaran, dan rusak dalam laku dan perkataan. Na’udzubillahi Mindzalik..
            Menghadapi orang sulit selalu merupakan masalah. Terutama jika orang sulit itu adalah diri kita sendiri. Jika kita merasa bahwa semua orang memiliki masalah dengan kkita, tidakkah kita curiga bahwa diri kit inilah masalahnya?
           
Kala bertemu dengan sahabat tak lagi senikmat menyuap bulir-bulir nasi dalam nampan yang sama. Kala pemberian hanyalah segenggam bara api yang melepuhkan perasaan. Kala kebaikan orang lain bagai duri yang menusuk sadis tubuh kita. Kala nasihat bagai kritik pedas tanpa ampun yang mengoyak gendang telinga. Atau kala senyum bagai pisau yang melukai mata dan memutus urat nadi. Maka tidakkah kita curiga betapa kotornya prasangka dan keruhnya Iman dalam diri kita? 
Menjadi keharusan pada kekuatan prasangka dan sekeping hati, kiranya perlu kita hidupkan suasana yang baik, sehat, dan sesuai dengan aturan yang ada. Mengiramakan mereka dalam dentingan yang merdu akan perintah-perintah dari-nya. Maka kemudian lahirlah hal-hal yang menjadi penopang kebaikan pada laku yang taat. Sejernih prasangka dan sucinya hati. Inilah bulir-bulir keberkahan dalam hidup.
Kita akan selalu terluka sebagai hamba yang di uji imannya, bersabarlah. Dan siapapun yang menyakiti, maka baik pula bila kita do’akan hidayah menghampiri. Bukan menyiramnya dengan hujat dan sumpah serapah, bukan. Do’a itu malah membawa keberkahan. Maka mari mendoakan agar terberkahi luka-luka yang kita rasakan. Agar tersembuhkan sakit-sakit yang menderai batin kita. Akan subur dan sejuk prasangka-prasangka yang kita miliki. Cinta. 
Dan pada prasangka-prasangka yang berlaku dalam Hati dan Pikiran kita. Maka menjaganya agar tetap bening dan bersih adalah secercah dari ikhtiar menjemput keridhoan-Nya. Berhusnudzhon pada Allah, pada saudara, pada sekitar kita, dan pada apa saja yang ada di sekeliling kita. Prasangka baiklah yang menumbuhkan bulir-bulir kebaikan.
Betapa banyak yang kehilangan Cinta, sebab kotornya prasangka. Betapa banyak yang jauh dari kebaikan, sebab keruhnya hati. Betapa banyak yang jauh dari hidayah, sebab jiwa yang tuli. Dan terakhir, betapa banyaknya yang jatuh dan terpuruk sebab iman yang mengerdil, keruh dan lalai dari mengingat-Nya. Cukuplah Naifnya diri ini tidak kita kita tinggikan di atas Iman-iman yang mengerdil. Cukuplah muhasabah kita perbanyak lagi.
Maka mereka pemilik Prasangka yang baik dan Hati yang Jernihlah yang akan senantiasa peka dan kuat bertahan atas apapun terpaan angan-angan, kesulitan, ujian, dan apapun bentuk dari goyangan pada air yang jernih. Sebab tak semua aib orang mampu kita jaga dengan sempurna, demikianpula halnya tentang kita yang tak sepenuhnya orang lain paham benar keadaannya. Luka dan Bahagia adalah rasa, maka hanya para pemilik perasaanlah yang mampu menelaah betapa pelik ia telah melukai, atau seberapa jelitanya ia menoreh tawa. Hanya perasa. Persembahan Cinta yang mulia pada sesama.
Antara Sekeping Hati dan Sejuta Prasangka. Maka di antara keduanya ada kebaikan. Lalu Allah pula bergantung pada prasangka yang kita punya.
Sebagai hamba mari menjadi pembelajar dari sabda sang nabi. Bahwa Abu Hurairah RA meriwayatkan sabda Rasulullah SAW tentang kemuliaan berprasangka baik kepada sang Khalik. 
”Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, Aku menurut prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengingat-Ku. Jika ia mengingatku dalam kesendirian, Aku akan mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik daripada keramaiannya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya se depa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”(HR Bukhari dan Muslim).
Karena prasangka baik terdapat hikmah yang menarik. Berbaik sangka mendekatkan kita pada yang Maha Esa. Sebaliknya, berprasangka buruk membuat kita terpuruk, jatuh, hina, dan akhirnya rapuh oleh prasangka-prasangka yang kita punya. Berburuk sangka menyebabkan setan berkuasa di hati kita. Menjelma pada laku yang tak taat. Pada maksiat yang menetap. Pada amalan-amalan yang terombang-ambing tiada kepastian. Na’udzubillah mindzalik.
 Kita semua berlindung kepada Allah SWT. Dengan sejernih prasangka, dan setulus nurani pada sekeping hati.

Buletin Edisi 14
Akh Agung Tri Pamungkas

1 komentar:

Unknown mengatakan...

MasyaAllah 👏👍

MAKNA SYUKUR DAN SABAR

  Oleh : Jihan Nabila Luqiana   Apa yang terlintas di benak kita tentang makna syukur? Apakah dikatakan bersyukur jika sesuatu yang dikabu...